"Pengalaman pemilu sebelumnya memberikan pelajaran sangat berarti, ketika ada seorang kandidat seperti Jokowi. Pada masa kampanya menyatakan akan selesaikan pelanggaran HAM termasuk Munir. Ternyata bisa kita simpulkan hari ini hanya sebagai komoditas politik untuk raup suara," kata Yanti saat diskusi di Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta Selatan, kemarin.
Sanksi itu, kata Yanti, juga berlaku bagi Presiden Jokowi bila maju dalam Pilpres 2019. Menurutnya, selama menjabat, Jokowi tak hanya mengabaikan kasus Munir, melainkan juga penegakkan HAM secara umum.
Yanti menyesalkan pengabaian Jokowi itu. Ia menilai Jokowi seharusnya bisa menunaikan janji tersebut lantaran bekas Wali Kota Solo itu tidak punya utang politik tentang pelanggaran HAM di masa lalu.
"Tapi akhirnya dia terjebak dalam pragmatisme kekuasaan di mana kekuasaan ini di kontrol oleh partai politik dan individu yang berkuasa di masa lalu sampai saat ini. Di situ terjadi kompromi politik yang akhirnya Jokowi tersandera," kata Yanti.
Kemudian, kata Yanti, kompromi politik juga terjadi ketika Jokowi menempatkan mantan kepala Badan Intelijen Negara (BIN) A. M. Hendropriyono sebagai orang dekat dalam memimpin negara. Padahal, Hendropriyono diduga sebagai orang yang terlibat dalam pembunuhan Munir.
"Itu kegagalan Jokowi, memang tidak punya kesungguhan dan kekuatan politik memadai untuk menyelesaikan masalah HAM berat. Seharusnya dia yakin bahwa masyarakat yang akan dukung dia," kata Yanti.
"Penyelesaian masalah HAM menjelang Pilpres 2019 saya tidak yakin. Kalau nanti Jokowi menang, kabinet harus steril dari mereka yang terlibat pelanggaran HAM," kata Daniel. </span> (wis)
Bagikan Berita Ini
0 Response to "KontraS Berharap Kasus Munir Tak Jadi Komoditas Politik 2019"
Post a Comment