Effendi menyebut ketentuan itu mengancam sistem demokrasi di Indonesia karena membuka kemungkinan calon presiden tunggal.
"Kerugian paling potensial misalnya calon pilihan kita menjadi terbatas, padahal dalam sistem demokrasi itu intinya banyak calonnya," ujar Effendi usai sidang perbaikan permohonan di gedung MK, Jakarta, Senin (18/9).
"Masa demokrasi tapi calonnya tunggal, itu susah dibayangkan," imbuhnya.
Dalam penelitian itu BPS menyebut bahwa tingkat demokrasi di level nasional berada pada angka 70,09. Angka ini menurun dibandingkan 2015 yang berada di poin 72,84.
Dosen dari Universitas Indonesia (UI) ini menilai ketentuan PT 20 persen lebih tepat apabila digunakan pada pemilu 2024. Sebab, ia beralasan sebagai bagian dari masyarakat dirinya tak mendapatkan informasi bahwa perolehan suara pada pemilu 2014 akan menjadi acuan untuk pengusulan capres pada pemilu 2019.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur ambang batas sebesar 20 persen untuk perolehan kursi di DPR dan/atau 25 persen perolehan suara nasional untuk mengajukan calon presiden.
Nantinya, lewat ambang batas presiden tersebut, partai politik atau gabungan parpol dalam pengajuan calon presiden/wakil presiden harus memiliki minimal 20 persen jumlah kursi di DPR dan/atau 25 persen suara sah nasional di Pemilu sebelumnya.
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Khawatir Capres Tunggal, Effendi Ghazali Gugat UU Pemilu"
Post a Comment