Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, DPR belum memiliki komitmen dan konsistensi dalam proses legislasi. Mereka dianggap belum sadar bahwa tindakannya menunda-nunda pengesahan RUU tersebut akan memberi pengaruh negatif pada jalannya proses pemilu yang akan datang.
"Ini (penundaan) sebenarnya preseden yang tidak baik karena semakin menguatkan persepsi masyarakat bahwa DPR tidak konsisten dengan komitmen legislasinya," ujar Titi kepada CNNIndonesia.com, Kamis (4/5).
Titi menuturkan, keterlambatan penundaan pengesahan RUU pada akhirnya akan merepotkan penyelenggara pemilu dalam menyusun aturan main dalam pemilu. Tak hanya itu, peserta dan pemilih juga akan terbebani untuk mengadaptasikan setiap pasal dalam aturan baru tersebut.
Titi mengatakan, proses pembahasan RUU Pemilu di DPR terbilang tertutup. Publik tidak diberi kesempatan yang luas untuk mengatahui segala dinamika yang terjadi dalam pembahasan RUU tersebut.
Ketertutupan itu seolah menggambarkan RUU Pemilu sebagai sebuah bancakan bagi parpol atau elit yang berkepentingan. Padahal, seharusnya keterbukaan pembahasan setiap RUU diperlukan sebagai bahan pendidikan politik bagi semua pihak.
"Tidak salah kalau kemudian ada pandangan keterlambatan ini karena tarik menariknya kepentingan elit. Karena proses pembahasannya sangat elitis," ujar Titi.
RUU Pemilu awalnya ditargetkan selesai pada 28 April 2017, namun kini baru akan dibahas pada 18 Mei 2017. Pansus mengklaim telah mengerucutkan lima dari 18 isu krusial. Isu itu diklaim menjadi hal yang paling mendasar dan menyita waktu pansus dalam menyelesaikan RUU tersebut.
Terkait dengan sistem pemilu, pansus menyebut ada masukan soal menggunakan sistem proporsional terbuka terbatas.
Soal ambang batas pencalonan presiden, sejumlah fraksi mengusulkan tetap pada angka 20 sampai 25 persen. Namun fraksi lainnya berharap menjadi nol persen.
Untuk ambang batas parlemen, mayoritas fraksi diketahui berharap tetap sebesar 3,5 persen. Sementara fraksi lain berharap ambang batas menjadi lima hingga tujuh persen.
|
"(Lima isu krusial) memang penting dan krusial. Tapi sebenarnya ada juga isu lain yang tidak kalah pentinganya yang juga tidak pernah diinformasikan. Publik juga perlu tahu bagaimana perkembangan pembahasannya," ujarnya.
Khusus isu pendanaan partai, kata Titi, sejak dahulu tidak terselesaikan dan menjadi polemik. Ia berkata, pendanaan partai juga merupakan indikator bagi terwujudnya konstetasi politik yang akuntabel ke depan.
Berdasarkan bunyi pasal 34 UU Nomor 2/2011 tentang Parpol disebutkan, pendanaan partai bersumber pada tiga aspek, yakni iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum, serta bantuan APBN dan APBD. Ketiga sumber pendaan itu deketahui menjadi polemik bagi masyarakat dan parpol.
Sementara itu, meski sejumlah isu yang seharusnya krusial tidak menjadi prioritas, Titi berharap, pansus RUU Pemilu bisa menghasilkan UU Pemilu sebagaimana diamanatkan dalam pasal 4 draft RUU Pemilu, yakni memperkuat sistem presidensiil, serta mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas.
RUU juga diharapkan mampu menyederhanakan dan menjamin konsistensi pengaturan sistem pemilu, mencegah duplikasi pengaturan dan ketidakpastian hukum pengaturan pemilu, hingga mewujudkan efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pemilu.
Lebih dari itu, Titi juga berharap, RUU tersebut paling lambat diselesaikan pada Juni 2017. Selain untuk kepentingan peserta, penyelengara dan pemilih, RUU tersebut meurupakan pertaruhan suksesi pemilu serentak 2019. (yul)
Bagikan Berita Ini
0 Response to "RUU Pemilu Terlunta, DPR Dinilai Tak Berkomitmen"
Post a Comment