Peneliti Kode Inisiatif Adelina Syahda mengatakan, MK memerlukan waktu hingga 10 bulan untuk memutus suatu perkara sepanjang 2016 padahal penanganan perkara oleh MK sebelumnya rata-rata hanya membutuhkan waktu 6,5 bulan.
"Lamanya penanganan perkara ini akhirnya menghambat dan membuat perkara di MK menumpuk," ujar Adelina lewat keterangan resmi yang diterima CNNIndonesia.com, Kamis (13/7).
MK pun dinilai kurang responsif dalam melihat pengujian suatu undang-undang yang kontekstual.Salah satunya, kata Adelina, ketika menangani uji materi UU Pilkada yang diajukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang kewajiban berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah. MK akhirnya memutus uji materi tersebut pada 10 Juli lalu setelah digugat sejak Oktober 2016.
"Seharusnya permohonan pengujian pasal tersebut dapat direspons secara cepat oleh MK menyesuaikan dengan momentum pembahasan RUU di DPR," kata Adelina.
|
Adelina mengatakan, sejumlah persoalan tersebut harus menjadi evalusi internal MK dan pemilihan ketua MK mendatang tak hanya menjadi seremoni namun juga momentum untuk mengevaluasi dan memperbaiki lembaga peradilan konstitusi tersebut.
"Ini saatnya MK menentukan langkah nyata untuk membenahi persoalan di dalam. Semoga ada beberapa alternatif lain calon ketua MK yang akan dipilih oleh para hakim konstitusi," tuturnya.Sesuai ketentuan dalam pasal 4 ayat (3) UU MK menjelaskan, pemilihan ketua dan wakil ketua MK dilakukan dari dan oleh hakim konstitusi untuk masa jabatan 2,5 tahun. Atas dasar itu, sembilan hakim MK berhak menjadi ketua dan wakil ketua MK.
Arief sendiri telah menjabat sebagai Ketua MK sejak 2014 dan mengakhiri masa jabatannya pada 14 Juli 2017. (kid)
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Jelang Pemilihan Ketua Baru, Kinerja MK Dinilai Masih Lamban"
Post a Comment