Search

Dukungan Dini untuk Jokowi dan Krisis Kaderisasi Parpol

Aliran dukungan partai politik kepada Joko Widodo untuk maju kembali dalam Pemilihan Presiden tahun 2019 semakin deras.

Diawali oleh Golkar lewat Rapimnas 28 Juli 2016, sejumlah partai politik lainnya juga turut memberi dukungan kepada mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut.

Enam partai politik yang mendukung Jokowi mencalonkan diri kembali yakni Partai Golkar, Partai Nasional Demokrat (NasDem), Partai Solidaritas Indonesia, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Hati Nurani Rakyat. Sementara Partai Persatuan Indonesia yang dipimpin Hary Tanoesoedibjo baru akan mengumumkan dukungan pada Jokowi saat rapat pimpinan nasional.

Derasnya dukungan kepada Jokowi bukan tanpa sebab. Kebanyakan partai tersebut menilai Jokowi berpeluang besar terpilih kembali sebagai presiden karena memiliki elektabilitas yang tinggi.

Partai-partai tersebut juga menilai, Jokowi sebagai sosok yang dekat dengan rakyat dan memiliki program yang lebih ralisitis di banding dengan figur lain.

Fenomena dukungan kepada Jokowi itu, dinilai oleh sebagian masyarakat, munculnya gejala krisis kaderisasi di tubuh partai.

Partai-partai itu seolah tidak mempertimbangkan figur internal untuk disokong maju dan memilih mengambil posisi aman dengan mendukung kader lain yang berpeluang menang.

Krisis Kaderisasi Di Balik Partai Pendukung JokowiHanura menyatakan dukungannya pada Jokowi di Pilpres 2019.(CNN Indonesia/Abi Sarwanto)
Peneliti politik Indo Riset, Bawono Kumoro mengatakan, dukungan dini yang dilakukan sejumlah parpol kepada Jokowi merupakan bukti terjadinya krisis kaderisasi di tubuh parpol.

"Banyak partai sekarang lebih mengutamakan figur. Mereka ragu mendorong kadernya jika tidak memiliki popularitas," ujar Bawono kepada CNNIndonesia.com kemarin.

Bawono mengatakan, fenomena dukungan dini disebabkan oleh adanya ketergantungan parpol terhadap sosok figur terkenal.

Banyak partai merasa, figur yang memiliki popularitas lebih menguntungkan partai ketimbang kader internal yang memiliki kualitas.

Bawono mengatakan, hasil survei Indo Riset yang belum terpublikasi menunjukkan elektabilitas Jokowi masih sangat tinggi.

Meski terpaut cukup signifikan, sosok Ketum Gerindra Prabowo Subianto masih tetap berada di posisi kedua sebagi penantang Jokowi di Pilpres tahun 2019.

"Saya melihat inilah menjadi landasan pemikiran dari Golkar, Nasdem, Hanura, dan PPP untuk mendukung Jokowi," ujarnya.

Selain figur, Bawono menyebut, banyak partai di Indonesia lebih memperhitungkan kuantitas ketimbang kualitas.

Partai seolah lebih mengutamakan hasil survei ketimbang menempa kadernya atau mempromosikan kadernya agar bisa diturunkan ke gelanggang pemilu, baik di pilpres maupun di pilkada.

"Partai itu sebenarnya Kawah Candradimuka, tempat lahirnya pemimpin. Seharusnya jangan terjebak pada kepentingan jangka pendek," ujar Bawono.

Sementara itu, Bawono menyampaikan, dukungan dini juga merupakan bagian dari strategi parpol untuk mengais insentif elektoral. Partai berharap elektoral di pemilihan legislatif  terangkat akibat tingginya tingkat keterpilihan Jokowi.

Menurutnya, strategi itu sangat pragmatis dilakukan oleh parpol yang telah secara dini menyatakan dukungan kepada Jokowi lewat berbagai cara, seperti lewat agenda formal atau informal kepartaian.

"Partai-partai itu (pendukung Jokowi) melihat peluang apabila memberikan dukungan kepada Jokowi sejak dini mereka berharap insentif elektoral," ujarnya.

Meski pola politik tersebut tidak salah, Bawono khawatir, kualitas parpol ke depan tidak akan menjadi baik. Parpol yang diharapkan mampu menciptakan pemimpin, justru tidak lagi bekerja pada pada hakikatnya.

Sementara, pengamat komunikasi politik Universitas Paramadina Hendri Satrio mengatakan, parpol telah melupakan proses kaderisasi yang semestinya dilakukan. Parpol saat ini terlihat lebih menyerahkan nasibnya kepada individu.

"Kaderisasi sebenarnya sudah dilupakan parpol. Yang terjadi peforma politik diserahkan ke masing-masing individu," ujar Hendri.

Menurut Hendri, dukungan dini kepada Jokwi itu sebenarnya kepentingan politik jangka pendek.

Parpol itu berusaha mendompleng nama Jokowi agar bisa memberi tambahan elektoral di level lokal, bukan di level nasional.

"Kalaupun level nasional banyak berpikiran kembali ke lokal seperti menjaid Gubernur. Paradigma ini membuat mereka tidak berkembang," ujarnya.

Krisis Kaderisasi Di Balik Partai Pendukung JokowiGolkar sudah jauh-jauh hari menyatakan dukungannya untuk mengusung Jokowi di Pilpres 2019. (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)
Hendri menambahkan, parpol yang telah menyatakan dukungan kepada Jokowi seharunya menyadari bahwa Jokowi hadir di kancah politik nasional secara tidak sengaja.

Ke depan, Henri berharap, setiap parpol harus menciptakan kader unggulan sendiri. Proses itu bisa dilakukan dengan beragam cara, salah satunya mencari sosok yang memang populer untuk dijadikan kader.

Cara itu perlu dilakukan agar politik pragmatis seperti mencalonkan sosok di luar partai tidak terjadi kembali.

Selain itu, pengkaderan dini untuk Pilpres juga bisa membuat partai lebih terencana memenangkan pemilu, bukan menyerahkan nasibnya kepada hukum alam.

Let's block ads! (Why?)



Bagikan Berita Ini

0 Response to "Dukungan Dini untuk Jokowi dan Krisis Kaderisasi Parpol"

Post a Comment

Powered by Blogger.