Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Sunanto menyebut dua argumen untuk menolak wacana tersebut. Satu di antaranya adalah keberadaan penyelenggara pemilu vital untuk mewujudkan pemilu yang berkesinambungan.
"Pemutakhiran data pemilih semestinya dilakukan berkelanjutan. Peran penting ini akan terganggu jika KPU di kabupaten dan kota bersifat ad hoc," tutur Sunanto di Jakarta, Senin (8/5).
Alasan kedua, kata Sunanto, adalah proses persiapan pilkada yang terancam terganggu jika status permanen KPU di level kabupaten dan kota dicabut. Menurutnya, perubahan status itu akan berdampak pada hilangnya kewenangan KPU mengatur keuangan pemilu.
"Kalau KPU mau dibikin ad hoc, bagaimana nasib pegawai KPU organik yang hasil rekrutmen sendiri. Mau dikemanakan mereka? Sekretariatnya bagaimana," kata Veri.
Penataan lembaga penyelenggara pemilu juga dianggap belum maksimal hingga saat ini. Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini berpendapat, penyederhanaan struktur KPU di tingkat kabupaten dan kota tak bisa diatur melalui RUU Penyelenggara Pemilu.
Menurut Titi, banyak pekerjaan KPU terancam terbengkalai jika status ad hoc benar-benar diberikan kepada KPU di di daerah tingkat dua.
"Argumentasi penyederhanaan kan salah satunya agar pemutakhiran data pemilih bisa dipegang Kemendagri. Padahal karakter pemutakhiran data kependudukan berbeda dengan data pemilih," kata Titi.
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Wacana KPU Kabupaten Bersifat Ad Hoc Dinilai Kontraproduktif"
Post a Comment