"Dari peserta Pileg, memang proporsional terbuka itu membuka lebih besar peluang bagi calon untuk bagi-bagi uang kepada pemilih," kata Rizka saat diskusi di Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin (24/7).
Rizka menjelaskan sistem Pileg proporsional terbuka akan memerlihatkan calon anggota legislatif dari berbagai partai politik. Jika pemilih memilih salah satu anggota maka suara akan terdistribusi secara langsung pada calon tersebut.
Dengan begitu, kata Rizka, calon anggota legislatif bisa mengambil jalan pintas dengan melakukan politik uang pada pemilih di daerah pemilihannya. Apa bila setiap partai politik mencalonkan anggota yang banyak.
"Selama pemilih kita belum mendapat pendidikan yang tepat buat mereka, saya pikir masih akan ada praktik tersebut," kata Rizka.
Rizka melakukan penelitan politik uang dengan empat desain. Desain pertama Rp 150 ribu, desain kedua Rp 100 ribu, desain ketiga Rp 50 ribu dan desain keempat tidak ditawari uang.
Pemilih yang menerima uang dipengaruhi oleh kontrol diri inhibisi (KDI). Semakin tinggi KDI akan semakin besar kemungkinan pemilih menerima politik uang.
Berdasarkan penelitian tersebut, uang Rp 150 ribu menjadi paling banyak yang diinginkan warga. Sebanyak 80 persen orang dengan KDI sebesar -1,3 memilih menerima uang Rp 150 ribu. Kemudian 50 persen orang dengan KDI sebesar -1,13 memilih menerima uang Rp 100 ribu dan 25 persen orang dengan KDI -0,8 memilih menerima uang Rp 50 ribu.
"Selama calon menganggap bahwa uang itu bisa membeli pemilih, saya rasa masih akan tetap ada praktik jual beli suara," kata Rizka.
Meski begitu, tak selamanya politik uang memberikan jaminan pada calon. Tak semua pemilih yang mendapat uang akan memilih calon yang membeli uang.
"Ketika menerima uang, mereka masih mempunyai kebebasan dalam memilih. Memilih calon yang lebih berkualitas," kata Rizka.
Sistem proporsional terbuka sendiri tercantum dalam UU Penyelenggaraan Pemilu yang baru disahkan DPR pekan lalu. Dalam draft UU Penyelenggaraan Pemilu pasal 168 berbunyi: Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.
Lebih lanjut, Rizka menjelaskan politik uang bukan hanya terjadi di bawah tapi juga bisa terjadi di tingkate elit politik. Apalagi bila sistem Pileg yang berlaku proporsional tertutup. Dengan sistem itu pemilh hanya melihat logo partai, suara yang didapat partai akan didistrubusikan ke calon yang dipilih partai.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Center for Strategic and International Studies (CSIS) Philips J. Vermonte menyampaikan pendapat serupa. Sistem Pileg proporsional tertutup tidak menjadi jaminan hilangnya politik uang.
"Kita gak ada yang tahu di dalam partai gimana kalau sistem proporsional tertutup. Bisa juga terjadi politik uang di dalam," kata Vermonte. (rah)
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Sistem Pileg Proporsional Terbuka Picu Politik Uang"
Post a Comment