Djarot beralasan, hal tersebut guna menghindari kegaduhan yang kerap terjadi saat Pilkada secara langsung, serta untuk memperkuat posisi gubernur agar selevel dengan menteri.
Dengan demikian, kata Djarot, Gubernur Jakarta bisa memberi masukan ke pemerintah pusat untuk mempercepat pembangunan dan integrasi pada kawasan penyangga Jakarta.
Usulan tentang mekanisme pemilihan gubernur itu ia sampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD) soal Substansi Perubahan Revisi Undang-undang (UU) Nomor 29 Tahun 2007 itu tentang Provinsi DKI Jakarta sebagai ibu kota NKRI, Rabu (20/9) di Balai Kota DKI Jakarta.
Pakar hukum tata negara Refly Harun mengatakan bahwa Pilkada DKI oleh DPRD memang bisa saja untuk dilakukan, terlebih jika sudah disepakati dalam UU.
Namun, kata Refly, usulan tersebut tidaklah signifikan untuk memperbaiki tata kelola Pilkada yang sarat kecurangan.
"Menurut saya, lebih baik diperbaiki governance Pemilunya, dari pada menggeser pemilihan oleh DPRD apalagi dengan usulan Presiden," kata Refly kepada CNNIndonesia.com, Minggu (24/9).
Dalam politik tersebut, calon kepala daerah menyetorkan sejumlah uang kepada partai politik (parpol) sebagai tiket bakal calon.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pun berhak mendiskualifikasi calon kepala daerah yang membayar ke partai politik (parpol).
Parpol yang memperoleh uang dari kandidat tersebut, tidak boleh mengusung calon siapapun.
"Itu kan masih terjadi. Tetapi hampir tidak ada pada Pilkada seluruh Indonesia yang didiskualifikasi karena memberi uang ke partai politik," kata Refly.
Meski tidak menyebut dengan spesifik bahwa fenomena itu terjadi di Pilkada DKI, Refly menyatakan bahwa hal tersebut adalah gejala umum yang ada dalam setiap Pilkada, sehingga harus diperbaiki.
Contohnya, membagikan uang dalam kampanye terbuka, serta menyuap seseorang untuk mengatur hak pilihnya.
UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada telah mengatur sanksi pidana untuk pemberi dan penerima politik uang.
Hal lainnya yang harus diperbaiki adalah pembatasan dana kampanye beserta penguatan auditnya, supaya masalah pencatatan keuangan yang buruk dan pembiayaan ilegal seperti uang haram dan melebihi batas, tidak terjadi lagi.
"Bukan memindahkan dari proses pemilihan langsung menjadi pemilihan oleh DPRD, apalagi untuk konteks Jakarta," kata Refly menegaskan.
Kegaduhan saat Pilkada 2017 lalu, kata Refly, bukan refleksi sesungguhnya dari Pilkada. Melainkan karena ada tokoh fenomenal seperti Basuki Tjahaja Purnama karena gaya komunikasinya yang spontan dan 'blakblakan'.
"Kebetulan saja ada sosok seperti Ahok yang kemudian sangat fenomenal dan memunculkan counter (perlawanan) dari pihak lain. Tetapi di tempat-tempat lain, tidak selalu (gaduh) seperti ini," ucapnya.
"Sangat mungkin (kolusi) karena kemenangan bisa diprediksi. Kalau misalnya anggotanya 100, kan harus membeli lebih dari 50 persen. Waktu pilkada tidak langsung, hampir semua DPRD kecipratan, tuh, uang ketika pemilih dilakukan oleh DPRD," ujarnya.
Terakhir, Refly menilai bahwa keistimewaan Jakarta yang bisa melakukan Pilkada dua putaran, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang (UU) Kekhususan No. 29 tahun 2007 tentang DKI Jakarta sebagai ibu kota NKRI.
Dalam UU itu, kekhususannya terletak pada keterpilihan gubernur dan wakil gubernur yang harus mencapai lebih dari 50 persen suara. Sedangkan, di daerah lain Pilkada hanya dilakukan satu putaran, yakni perolehan suara terbanyak.
"Fenomena lain, menurut saya, yang perlu diperbaiki dari DKI, tidak perlu 50 persen plus satu (suara) itu. Jadi satu putaran saja, biar tidak ada head to head seperti kemarin," kata Refly. </span> (gil)
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Kontroversi Usulan Gubernur Jakarta Dipilih DPRD"
Post a Comment