Search

Jenderal Gatot dan Beban 'Kesetiaan' untuk Poros Maritim

Jakarta, CNN Indonesia -- Saat diwawancara CNN Indonesia TV, Panglima TNI Jenderal Gatot menyebut soal mimpinya tentang TNI yang mampu menunjang konsep Poros Maritim ala Jokowi.

Menurutnya, yang pertama kali harus dilakukan adalah pemantauan yang mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kebutuhan pada pemantauan seluruh wilayah ini yang jadi acuan dalam pembelian Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista).

"Yang pertama harus dievaluasi, apakah ruang darat, udara, dan laut, sudah bisa kita amati semua? Tanpa itu, kita tidak tahu harus beli (alutsista) apa. Harus bisa kita kuasai dalam pengamatan. Setelah itu, baru kita bersamaan memikirkan bagaimana mengamankan dalam waktu cepat," ucap Gatot, dalam wawancara yang disiarkan pada Rabu (4/10).


Ia menggarisbawahi, wilayah udara dan wilayah laut adalah area yang harus benar-benar dijaga. Pesawat tempur dan kapal perang canggih jadi keniscayaan. Ia pun menyebut soal insfrastruktur penunjangnya, seperti pangkalan udara dan pelabuhan, serta pemberdayaan pulau-pulau terluar. Namun, ia memaklumi tentang kondisi anggaran.

"Ini semua yang harus kita manage pelan-pelan sesuai kondisi ekonomi sehingga semua wilayah bisa kita pantau," kata Gatot.

Sejumlah helikopter dan pesawat hercules serta KRI melakukan sailing pass dan flying pass pada Perayaan HUT Ke-69 TNI di Dermaga Ujung Armada RI Kawasan Timur (Armatim), Surabaya, Selasa, 7 Oktober 2014.Sejumlah helikopter dan pesawat hercules serta KRI melakukan sailing pass dan flying pass pada Perayaan HUT Ke-69 TNI di Dermaga Ujung Armada RI Kawasan Timur (Armatim), Surabaya, Selasa, 7 Oktober 2014. (Foto: SAFIR MAKKI)
Poros Maritim

Pengamat militer dari President University Anak Agung Bayu Perwita menilai, pemenuhan alutsista TNI Angkatan Laut dan TNI Angkatan Udara harus jadi prioritas demi Poros Maritim. Pengadaannya pun harus berdasarkan asas prioritas.

"Jenis alutsista yang harus diperhatikan, lebih canggih, mobilitas lebih tinggi, dengan demikian uang yang mahal, uang dari rakyat betul-betul efektif untuk memenuhi pertahanan Indonesia," tutur Bayu.

Baginya, kondisi alutsista TNI relatif memadai jika dilihat dari konteks persepsi ancaman saat ini. Namun, itu jauh dari memadai jika dilihat dalam konteks ancaman di masa mendatang.

"Kalau bicara masa depan, enggak bisa dengan postur pertahanan yang sekarang, misalnya kapal selam, sekarang baru punya empat, idealnya harus 12," ucap Bayu.


Karena itulah ia mendorong kemandirian industri pertahanan nasional. Dukungan negara terhadap BUMN pertahanan pun mutlak.

"PT Pindad, PT DI, PT PAL ini harus dikembangkan. Ini bicara masalah akselerasi juga, jadi nanti sampai 2045 mendatang saat 100 tahun Indonesia, industri pertahanan sudah mandiri," tutur Bayu.

Berdasarkan data yang dihimpun, dalam tiga tahun terakhir anggaran pertahanan, yang menjadi basis pendanaan TNI, cenderung naik. Berturut-turut sejak 2015-2017, anggaran pertahanan mencapai Rp 102,3 triliun, Rp 109,003 triliun, dan Rp 108,293 triliun.

Kementerian Pertahanan pada 2007 sudah memetakan kondisi alutsista di Indonesia. Hasilnya, 30%-50% alutsista TNI dinyatakan tidak layak. Upaya untuk modernisasi alutsista pun dilakukan melalui program Minimum Essential Forces (MEF).

MEF dirancang dalam tiga tahap. Yakni, tahap I MEF pada 2010-2014; tahap II MEF pada 2015-2019; dan tahap III MEF pada 2020-2025. Tahap pertama telah selesai dengan realisasi anggaran Rp122,2 triliun, atau 74,98% dari target. Untuk tahap kedua dan ketiga, akan dialokasikan sekitar Rp157,5 triliun.

Wapres Jusuf Kalla (kedua kiri) didampingi Menteri ESDM Sudirman Said (kanan) memeriksa kendaraan tempur buatan Pindad pada Indo Defence Expo 2014 di JIEXPO Kemayoran, Jakarta, Rabu 5 November 2014. Wapres Jusuf Kalla (kedua kiri) didampingi Menteri ESDM Sudirman Said (kanan) memeriksa kendaraan tempur buatan Pindad pada Indo Defence Expo 2014 di JIEXPO Kemayoran, Jakarta, Rabu 5 November 2014. (Foto: Adhi Wicaksono)

Di Bawah Standar

Direktur Imparsial Al Araf menyatakan, ada banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi dalam menjaga kewibawaan pertahanan RI. Pertama, pembelian alutsista di bawah standar (underspec).

Bentuknya, pengadaan alutsista yang tidak lengkap, seperti pengadaan pesawat tanpa rudal, atau radar; serta pembelian alutsista bekas yang justru membahayakan prajurit.

Alhasil, alutsista pun rontok satu per satu. Misalnya, helikopter Bell 412 EP milik TNI-AD yang jatuh di Poso, Sulawesi Tengah, pada 21 Maret 2016; pesawat Super Tucano 3180 milik TNI-AU jatuh pada Februari 2016 di Malang; pesawat T-50i Golden Eagle milik TNI-AU alami kecelakaan di Yogyakarta pada Desember 2015.


Dari data Imparsial, setidaknya terdapat 20 peristiwa kecelakaan alutsista sepanjang 2004-2016 yang memakan korban dari prajurit TNI maupun warga sipil.

Kedua, lanjut Al Araf, minimnya transparansi pengadaan alutsista yang dapat berujung korupsi. Pada 2015, Transparancy International merilis survei bertajuk Government Defence Anti-Corruption Index 2015 yang menunjukkan risiko korupsi di sektor militer/pertahanan. Disebutkan, risiko korupsi sektor militer/pertahanan di Indonesia masih tergolong tinggi (nilai D).

Buktinya, kasus korupsi menjerat Kepala Bidang Pelaksana Pembiayaan Kemenhan (2010-2014) Brigjen Teddy Hernayadi. Ia terbukti melakukan tindak pidana korupsi senilai USD 12 juta dan divonis hukuman penjara seumur hidup.

Minimnya keterbukaan pengadaan dan keberadaan broker senjata di Kementerian Pertahanan jadi penyebab kerawanan korupsi sektor pertahanan ini.


Imparsial pun mendorong lembaga-lembaga pengawas independen seperti KPK untuk turun lebih jauh dalam memantau penggunaan anggaran pertahanan, serta reformasi peradilan militer melalui revisi UU No. 31 Tahun 1997.

Jika PR sektor pertahanan itu bisa dilaksanakan, ditambah kecukupan anggaran pertahanan seiring pertumbuhan ekonomi, kewibawaan pertahanan dalam menyokong Poros Maritim tinggal tunggu waktu. (arh)

Let's block ads! (Why?)



Bagikan Berita Ini

0 Response to "Jenderal Gatot dan Beban 'Kesetiaan' untuk Poros Maritim"

Post a Comment

Powered by Blogger.