Menurutnya, DPR sebaiknya tetap menggunakan sistem proporsional terbuka berdasarkan calon legislatif dengan suara terbanyak yang diberikan oleh pemilih. Namun, jika DPR menginginkan parpol sebagai penentu caleg sebaiknya menggunakan sistem proporsional tertutup.
“Sistem (terbuka terbatas) tidak demokratis, harus ditolak. Sistem itu juga membingungkan dan merusak sistem yang ada,” ujar Hadar dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (12/5).
Hadar mengatakan, sistem terbuka terbatas adalah hasil dari pembahasan RUU yang bersifat tertutup. Ia menilai, publik sama sekali tidak diberi kesempatan untuk memberi masukan terhadap RUU tersebut.
Ia berkata, lahirnya sistem campuran dengan syarat tersebut juga merupakan hasil ketidakpahaman anggota DPR dan pemerintah soal sistem pemilu yang benar. Menurutnya, kedua pihak tersebut seolah tidak sadar bahwa membuat posisi caleg dengan partai menjadi terbelah.
“Kedaulatan itu yang berdaulat rakyat, tapi rakyat tidak tahu apa yang dibahas,” ujarnya.
Sementara itu, Deputi Direktur Perludem Khoirunnisya Agustyati menilai, sistem proporsional terbuka terbatas akan merugikan caleg dengan nomor urut besar. Pasalnya, sistem itu pada akhirnya tidak akan mengakomodir caleg nomor urut besar dengan jumlah perolehan suara lebih besar dari caleg nomor urut kecil yang kalah dari perolehan suara partai.
“Ada sesuatu yang tidak setara. Ini berpotensi dibawa ke MK kembali. Karena pemilih yang sudah punya kesempatan memilih calegnya sendiri dan banyak, tapi suaranya tidak diterjemahkan menjadi siapa calon terpilihnya,” ujar Khoirunnisya.
Peneliti Divisi Korupsi Politik Indonesian Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina, menyatakan sistem pemilu terbuka terbatas menyalahi nilai demokrasi dan kesetaraan. Ia berkata, sistem itu tetap akan melahirkan politik uang. Bahkan sistem itu juga berpotensi menimbulkan kandidasi buying untuk memperebutkan nomor urut caleg.
“Apakah titik ini (sistem terbuka tertutup) menjawab masalah? Saya kira tidak menjawab, malah menambah,” ujar Almas.
Almas mengatakan, sistem terbuka tertutup tetap akan menuntut para caleg mengeluarkan dana besar untuk kampanye. Bahkan, dalam riset ICW, sejumlah caleg tetap menghadirkan saksi selain yang disediakan parpol untuk mengawasi TPS.
Saksi personal tersebut dihadirkan karena sang caleg merasa khawatir suaranya dicuri oleh rekannya sendiri di dapil. Selain karena persaingan nomor urut, sistem tersebut akan menimbulkan persaingan antara caleg dengan partai dalam memperoleh suara.
Sementara dalam konteks kampanye, ia melihat, parpol sangat menguntungkan caleg nomor urut kecil. Hal itu membahayakan persepsi antaranggota DPR terpilih ke depan dalam bekerja. Mereka dikhawatirkan akan terbelah karena latar belakang keterpilihannya.
“Ini membuat kampanye tidak fair. Ini yang perlu diwaspadai,” ujarnya.
Lebih dari itu, Almas mengatakan, cara paling tepat untuk memperbaiki kondisi pemilu ke depan adalah dengan memperkuat pengawasan pelaksanaan pemilu dan parpol, meningkatkan pendidikan kepada kader, serta memperbaiki metode pendanaaan kampanye.
“Ini yang harusnya jadi substansi dalam pembahasan RUU. Bukan mengganti-ganti sistem, tapi sistem yang ditawarkan tidak jauh lebih baik,” ujar Almas.
Sebelumnya, Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu menyatakan, isu sistem pemilu menjadi salah satu isu krusial yang belum dapat diselesaikan. Hingga saat ini ada tiga isu yang tengah dibahas untuk disepakati, yakni sistem proporsional terbuka, sistem proporsional tertutup, dan sistem proporsional terbuka terbatas. (pmg/yul)
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Sistem Pemilu Terbuka Terbatas Dinilai Tidak Demokratis"
Post a Comment