Hadar menilai, peninjauan kembali dapat dilakukan karena aturan 20-25 persen presidential threshold membatasi pilihan bakal capres dan cawapres dalam pemilu nasional.
"Perkiraan saya akan ada dari masyarakat sipil yang mengajukan Judicial Review. Mestinya iya, karena rakyat yang punya hak juga menentukan pilihan, tapi kalau pilihan tersebut sudah disaring duluan dengan 20/25 persen berarti pilihan jadi terbatas," kata Hadar di Kantor KPU RI, Jakarta, Jumat (14/7).
Hadar menilai sistem pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden telah selesai pengaturannya di UUD 1945. Menurutnya, tak perlu lagi ada tambahan syarat pencalonan presiden atau wakilnya di dalam RUU Pemilu.
"Jadi partai politik apapun kondisinya kalau dia ikut pemilu pada saat itu dia boleh mencalonkan. Jadi sudah keliru, gagasan itu (ambang batas) sudah bertentangan dengan konstitusi," katanya.
Menurutnya, usul ambang batas pencalonan presiden yang diajukan pemerintah dalam pembahasan RUU Pemilu bertujuan untuk membuat pemilu serentak 2019 berjalan satu putaran saja.
"Mau disederhanakan supaya putaran pertama selesai, kan begitu, supaya sederhana, supaya presidensil kuat, putaran pertama selesai kan arahnya supaya calon kami saja lah (yang maju dan menang pemilu)," katanya.
Pada kesempatan terpisah, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyebut usulan ambang batas pencalonan presiden sebesar 20-25 persen sudah sesuai dengan konstitusi. Dia berargumen, angka batas pencalonan tersebut selama ini sudah pernah digunakan pada dua kali penyelenggaraan pemilu dan tidak menimbulkan masalah.
Mantan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan itu pun meminta partai politik pendukung pemerintah untuk konsisten memperkuat sistem presidensil saat ini. Salah satu caranya adalah dengan mendukung dan menerima usul pemerintah ihwal ambang batas pencalonan presiden. (gil)
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Ambang Batas Presiden 20-25 Persen Dinilai Picu Gugatan di MK"
Post a Comment