Search

Presidential Threshold Jadi Pendukung Sistem Presidensial

Jakarta, CNN Indonesia -- Undang-undang yang bakal mengatur Penyelenggaraan Pemilu akhirnya disahkan, Jumat (21/7) dini hari WIB. Salah satu isu krusial yang kemudian membelah anggota parlemen jadi dua kubu adalah mengenai lambang batas untuk pemilihan presiden atau Presidential Threshold (PT). Pada UU Pemilu yang disahkan pada dini hari tadi adalah opsi pada Paket A, di mana PT yang dipakai adalah 20 persen untuk perolehan kursi di DPR dan/atau 25 persen perolehan suara nasional untuk mengajukan calon presiden atau wakil presiden.

Presidential threshold itu kan diusulkan memang untuk memperkuat sistem presidensial. Secara prinsip saya setuju dengan PT, memang harus ada ambang batas karena jika 0% itu sangat liberal. Setiap parpol nantinya bisa mencalonkan presidennya sendiri,” kata Peneliti dari The Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo dalam perbincangan telepon dengan CNNIndonesia.com, Jumat (21/7).

Secara terpisah, hal serupa disampaikan pengajar politik Universitas Indonesia, Reni Suwarso. Perempuan yang menjabat sebagai Direktur Pusat Studi Pemilu dan Partai Politik FISIP-UI itu menilai pemberlakuan presidential threshold sebagai keputusan terbaik untuk mewakili kepentingan rakyat Indonesia. 

Presidential Threshold itu supaya demokrasi Indonesia nggak gonjang-ganjing. Itu untuk representasi kepentingan rakyat," kata Reni.

Menurut Reni, jumlah parpol di Indonesia saat ini terlalu banyak. Dia mengatakan jumlah parpol tersebut seharusnya ditentukan lewat fragmentasi kepentingan rakyat, seperti partai berkubu nasionalis, partai berasas agama fundamentalis, partai berasas agama moderat, dan partai-partai perwakilan berbagai daerah di Indonesia. Reni pun mengatakan jumlah ideal kandidat yang berkompetisi dalam pilpres nanti pun tak terlalu banyak.

"Cukup dua hingga tiga pasang calon Presiden yang diajukan dalam Pemilu 2019. Pasangan-pasangan inilah yang akan didukung oleh masing-masing koalisi partai perwakilan berbagai fragmentasi masyarakat," kata mantan Ketua Prodi Sarjana Ilmu Politik FISIP-UI tersebut.

Sementara itu, Karyono menilai ketakutan atas proses tranksaksional antara bakal calon presiden dan wakil presiden terhadap partai yang pengusung itu biasa meskipun ada presidential threshold.

“Memang tak akan bisa dipungkiri itu akan menimbulkan tranksaksi-tranksaksi politik lain. Tranksaksi politik itu pasti terjadi dalam hal apapun,” ujar Karyono.

Presidential Threshold Jadi Pendukung Sistem PresidensialSuasana rapat paripurna DPR untuk mensahkan UU Pemilu yang berlangsung dari Kamis (20/7) siang hingga Jumat (21/7) dini hari WIB. (CNN Indonesia/Joko Panji Sasongko)

Risiko Terjadinya Calon Tunggal

Salah satu kekhawatiran dari pemberlakuan PT tidak 0% itu adalah munculnya calon presiden/wakil presiden tunggal. Apalagi dengan ambang batas yang dinilai tinggi.

Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mencontohkan andai Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) ingin mencalonkan diri kembali pada 2019 mendatang, ia harus melakukan 'tranksaksi kesepakatan (deal) dengan harga tinggi'.

Presidential Threshold 20 persen sebenarnya bukan kepentingan Jokowi, tapi kepentingan partai-partai pendukung Jokowi," kata Yusril dalam keterangan tertulisnya.

"Jokowi harus deal dengan harga tinggi dengan partai-partai itu. Andaikata Jokowi baru dapat 17 persen dukungan, diapun harus deal lagi dengan partai kecil yang punya suara 3 persen kursi di DPR," sambungnya.

Tingginya permintaan mendapatkan dukungan itu membuat kekhawatiran partai atau koalisi partai yang tak bisa memenuhi 20 persen akan kesulitan mendaftarkan calonnya.

“Itu perlu pula diantisipasi kika suatu hal ada satu calon. (Contohnya) Kalau yang dijelaskan dalam UU Pilkada itu diatur dimana calon kepala daerah akan melawan kotak kosong. Tapi, itu akan jadi persoalan dari legitimasi keterpilihan kepala daerah tersebut,” ujar Karyono.

Sementara itu, Reni tak setuju dengan penilaian bahwa pemberlakuan ambang batas akan membuka ancaman terjadinya calon presiden tunggal.

"Nggak ada (calon tunggal). Kandidatnya pasti dua atau lebih karena dilihat dari fragmentasi kepentingan rakyat,” yhar Rebu,

Reni menyebut jika Joko Widodo ingin kembali maju sebagai calon presiden, dirinya harus memiliki koalisi. Dalam hal ini, PDIP yang menjadi partai pengusungnya, harus membangun koalisi untuk mencapai Presidential Threshold 20 persen.

Sama halnya dengan peneliti politik dari CSIS, Arya Fernandez, yang turut meragukan dengan risiko terjadinya calon tunggal dalam Pemilu 2019.

"Saya kira, kecil kemungkinan adanya calon tunggal, ya, karena koalisi lain yang mendukung paket B sepertinya akan mengusung calon pasangan lain," kata Arya.

Peta koalisi tersebut, kata Arya, bisa dilihat dari proses rapat paripurna untuk menggolkan RUU Pemilu jadi UU Pemilu yang sah pada Kamis (20/7) hingga Jumat (21/7) dini hari WIB.

"Meskipun akan ada pergeseran untuk beberapa partai, tetapi posisi dukungan setidaknya menunjukkan peta koalisi Pemilu 2019," kata Arya.

Let's block ads! (Why?)



Bagikan Berita Ini

0 Response to "Presidential Threshold Jadi Pendukung Sistem Presidensial"

Post a Comment

Powered by Blogger.