Pemerintah beralasan formula tersebut harus dipertahankan karena pemerintah ingin setiap calon presiden dan wakil presiden dicalonkan oleh partai politik yang mendapat cukup legitimasi dari masyarakat.
Tentunya, kata Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, legitimasi itu diraih partai politik melalui perolehan suara pada pemilu legislatif.
"Setidaknya proses awal sebuah partai politik mengusung Capres dan Cawapres sebagaimana aspirasi masyarakat perlunya dukungan riil secara obyektif melalui tahapan pemilihan umum legislatif," kata Tjahjo dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Jumat (5/5).
Tujuh dari 10 fraksi di DPR sepakat meniadakan angka presidential threshold untuk Pemilu 2019. Hanya Fraksi Golkar, PDIP, dan NasDem yang menolak usulan penghapusan persyaratan ambang batas pencalonan presiden itu.
Menurut Tjahjo, harus ada seleksi yang diberlakukan untuk membatasi pencalonan presiden dan wakil presiden di pemilu mendatang.
"Kalau orang ingin jadi Presiden, terus buat partai dan maju capres dengan aturan nol persen misalnya, maka bagaimana komitmen meningkatkan kualitas demokrasi dalam pemilihan presiden," katanya.
Seorang calon presiden dan wakil presiden, menurutnya, perlu mendapat dukungan dari parpol yang meraih legitimasi dari rakyat, alih-alih hanya mengandalkan hartanya.
"Seorang capres yang berkualitas prinsipnya harus didukung masyarakat pemilih melalui partai politik hasil pemilu legislatif. Tidak semata didukung partai dan punya materi berlimpah semata, tapi dukungan riil partai politik yang sudah teruji dipilih secara demokratis," katanya.
Kedua, mempertahankan syarat pencalonan sesuai UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum presiden dan Wakil Presiden sebesar 20 persen perolehan kursi DPR dan 25 persen perolehan suara nasional pemilu legislatif sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
(syh/yul)
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Pemerintah Ingin Pertahankan Ambang Batas Pencalonan Presiden"
Post a Comment