Search

Pansus Ungkap Konsekuensi Jika Kembali ke UU Pemilu Lama

Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-undang Penyelenggaraan Pemilu (RUU Pemilu) Yandri Susanto mengungkap sejumlah konsekuensi yang dihadapi jika kembali ke UU Pemilu lama.

Salah satunya, kata Yandri, KPU dan Bawaslu tidak memiliki pedoman dalam membuat peraturan untuk pemilu serentak 2019 mendatang.

"Detail peraturan yang akan diterjemahkan oleh KPU dan Bawaslu, dan termasuk peserta itu tidak ada pedoman. Sementara pemilu untuk pertama kali serentak," kata Yandri di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (11/7).

Yandri mencontohkan, seperti pengaturan di tempat pemungutan suara (TPS), bentuk surat suara, hingga anggaran dan iklan untuk kampanye yang memerlukan penyempurnaan dari pembahasan RUU Pemilu saat ini.

Dengan demikian, lanjut Yandri, wacana Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang mengusulkan kembali ke UU Pemilu lama, tidak relevan dan menjadi masalah baru dalam pelaksanaan pemilu yang pertama kali digelar serentak.

Yandri menambahkan, penggunaan UU lama juga berpotensi menimbulkan silang pendapat dan beban baru bagi KPU dan Bawaslu dalam menerjemahkan peraturan pemilu serentak.

"Banyak komentar yang silang pendapat, karena memang payung hukumnya tidak ada. Misalnya PKPU tidak ada di UU, KPU nggak boleh menerjemahkan karena enggak ada di UU. Kalau KPU atau Bawaslu mau menerjemahkan mana rujukannya," ujarnya.

Untuk itu, Yandri berharap agar lima isu krusial termasuk ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu, tidak membuat persiapan pemilu serentak dikorbankan.

"Harapan kami seperti yang disampaikan kemarin janji pak menteri waktu awal pembahasan pansus, bahwa ini rezim partai politik, haknya parpol, maka pemerintah mengikuti mayoritas partai politik kalau enggak ada musyawarah mufakat," katanya.

Lima Isu Krusial
 
Sebelumnya, rapat pengambilan keputusan RUU Pemilu rencananya ditunda hingga Kamis (13/7). Ketua Pansus Angket KPK Lukman Edy tadi malam mengatakan penundaan dilakukan untuk memberi ruang bagi setiap fraksi melakukan lobi atas lima isu krusial.

Presidential treshold merupakan salah satu dari lima persoalan yang menghambat tercapainya kesepakatan dalam pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu. Sampai saat ini pemerintah masih bersikukuh presidential treshold di angka 20 hingga 25 persen.

Sikap pemerintah itu didukung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, dan NasDem. Sementara partai lain seperti Demokrat ingin presidential treshold ditiadakan. 

Di kubu lain ada partai yang menginginkan presidential treshold di angka 10-15 persen. Kubu ini didukung oleh PPP, PAN, PKB, dan Hanura.

Empat isu lain di luar presidential treshold ambang batas parlemen (parliamentary threshold), metode konversi suara, alokasi kursi per daerah pemilihan, dan sistem pemilu.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sebelumnya menegaskan, pemerintah tidak akan mengikuti paripurna jika pengambilan keputusan lima isu krusial tersebut ditempuh lewat mekanisme voting. Bahkan, Tjahjo juga menyampaikan, jika tidak ada titik temu, pemerintah akan menggunakan UU saat ini dalam pemilu mendatang.

Menurut dia, UU lama tidak ada perbedaan dengan RUU yang saat ini tengah dibahas. Penerapan itu juga tidak memerlukan Perppu. UU itu juga diklaim tidak akan mengurangi legitimasi rakyat. (wis)

Let's block ads! (Why?)



Bagikan Berita Ini

Related Posts :

0 Response to "Pansus Ungkap Konsekuensi Jika Kembali ke UU Pemilu Lama"

Post a Comment

Powered by Blogger.