Jabatan untuk Pria
Walau otomatis menjabat Gubernur, pemegang posisi Sultan di DIY harus ditentukan melalui mekanisme tertentu yang sesuai adat. Selama ini, adat di Bumi Mataram menjunjung kepercayaan bahwa pemimpin, atau Sultan, adalah jabatan yang harus diemban keturunan laki-laki raja sebelumnya.
Polemik muncul karena raja berkuasa saat ini, Sri Sultan Hamengku Buwono X, tidak memiliki anak laki-laki. Pembicaraan mengenai siapa penggantinya kelak pun kerap terjadi.
"Kelembagaan Keraton tidak ada hubungannya dengan putusan MK. Sampai saat ini tidak ada perubahaan karena Sultannya tetap sama," kata pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada Bayu Dardias kepada CNNIndonesia.com, Selasa (5/9).
Hingga saat ini Sultan Hamengku Buwono X belum mengumumkan isi paugeran tersebut. Padahal, menurut Bayu substansi paugeran harus dibuka agar publik mengetahui syarat dan tata cara untuk penerus tahta di DIY.
"Menurut Sultan beliau bisa mengubah paugeran karena beliau Sultan, pimpinan tertinggi piramida kekuasaan. Menurut Adik-adiknya, beliau hanya sultan, seperti presiden yang menjalankan UUD. UUDnya itu paugeran yang tidak dapat diubah karena sudah digariskan leluhur," katanya.
Putri pertama Sri Sultan HB X, GKR Mangkubumi berpeluang jadi Gubernur DIY berkat putusan MK atas salah satu pasal di UU Keistimewaan. (ANTARA FOTO/Regina Safri)
|
Nasab Terhenti
Pemilihan laki-laki sebagai pemegang hak untuk menjadi Sultan mengadaptasi ajaran Islam. Menurut peneliti yang sedang menempuh pendidikan di Australia itu, jika pijakan peraturan ihwal gender itu diubah maka garis darah atau nasab Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat akan hilang.
"Jika diubah ke perempuan nasabnya akan terhenti di GKR (Gusti Kanjeng Ratu) Pembayun karena nanti Sultan selanjutnya berganti nasab ke Wironegoro. Ada inkonsistensi di diri keluarga Pembayun sendiri soal nasab. Dua anaknya bernama Artie Wironegoro dan Destra Wironegoro. Jadi sebenarnya, Pembayun sendiri mengakui garis nasab laki-laki," katanya menjelaskan.
Jika hal mendasar dalam paugeran diubah, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat juga dikhawatirkan tidak lagi menjadi pewaris budaya di Tanah Jawa. Sebab tak ada sistem alternatif yang ditawarkan dari perubahan tersebut.
"Ini setara dengan menghapus pemilu di negara demokrasi. Jelas akan semakin chaotic," tuturnya.
Sultan berjenis kelamin laki-laki dianggap dapat dengan mudah diterima kehadirannya oleh masyarakat. Hal serupa tak dijamin akan tercipta seandainya penerus Sultan nanti merupakan perempuan, walau ia adalah anak kandung sang petahana.
"Zaman dulu, setiap penobatan putra mahkota selalu disambut gegap gempita sekarang tidak. Ini menandakan acceptance terhadap Sultan perempuan masih rendah," katanya.
Bagikan Berita Ini
0 Response to "GKR Pembayun di Tengah Dominasi Raja Pria Jawa"
Post a Comment